JAKARTA, INFOPUBLIK.NET – Respon Pemerintah, DPR dan Partai Politik pasca demonstrasi besar-besaran yang berakhir dengan kerusuhan dan penjarahan dinilai belum substantif menyentuh permasalahan bangsa saat ini. Respon yang ditunjukkan ke publik lebih pada upaya meredakan kemarahan masyarakat agar skalanya tidak semakin meluas, bukan mengatasi persoalan yang membebani bangsa.
Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rizal Edi Halim mengatakan, kejadian yang melanda Jakarta dan beberapa wilayah di Indonesia dalam beberapa hari terakhir seharusnya menjadi momentum melalukan introspeksi dan evaluasi bagi pemerintah terkait berbagai hal yang dirasakan, dialami atau kebijakan yang diterapkan selama delapan bulan tahun 2025.
“Kita ingin kebijakan Prabowo Subianto lebih pro kepada rakyat dengan nyata dan bisa dirasakan oleh masyarakat, bukan sebaliknya,” tegas RizaL dalam keterangan tertulis yang diterima pada Jumat (5/9/2025).
“Penyelenggara negara mulai dari birokrat, DPR untuk berhenti melalukan flexing dan foya-foya plesiran karena tindakan itu melukai perasaan rakyat,” tegas Rizal.
Pengamat ekonomi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko di Yogyakarta, Selasa (2/9/2025) menilai penonaktifan beberapa anggota DPR tidak serta-merta menyelesaikan akar persoalan yang tengah dihadapi masyarakat.
“Jangan hanya yang keseleo lidah diberi sanksi oleh Partai Politik dengan pencabutan keanggotaan, tetapi rombongan Komisi XI DPR yang plesiran ke Australia juga harus diberi sanksi. Terlepas dari semua sikap pamer, flexing dari anggota DPR itu kalau hanya berhenti di pemecatan, itu tidak menyentuh inti masalah,” kata Aditya.
Menurut Aditya, masalah mendasar yang perlu segera diselesaikan Pemerintah adalah kondisi ekonomi yang kian menekan rakyat. Ia menekankan pada empat hal utama dalam perekonomian nasional yang harus segera dicari solusinya. Masalah itu antara lain, inflasi yang jauh di atas kenaikan upah minimum regional (UMR), sulitnya lapangan kerja, meningkatnya pengangguran, serta penerimaan negara yang bertumpu pada pajak tersembunyi.
“Ekonomi yang terlihat tinggi bukan karena daya beli masyarakat naik, melainkan karena pajak siluman yang justru membebani rakyat. Pemerintah harus menciptakan lapangan kerja nyata, bukan sekadar mengandalkan kenaikan UMR yang tidak sebanding dengan inflasi,” papar Aditya.
Pemerintah jelasnya tidak boleh berhenti pada tindakan simbolis terhadap individu anggota dewan yang kemudian membuat rakyat sebagai konstituen marah atas sikap dan perilaku mereka yang mengabaikan amanah.
“Kalau persoalannya dibiarkan hanya sebatas pemecatan, rakyat tetap akan merasa dikhianati karena penderitaan sehari-hari mereka tidak pernah dijawab dengan kebijakan nyata yang mengubah tingkat kehidupan mereka,” kata Aditya.
Aditya pun mendesak agar Pemerintah dan DPR menunjukkan keberpihakan dengan kebijakan ekonomi yang langsung dirasakan masyarakat. “Kalau tidak, wibawa negara makin turun. Rakyat melihat para pejabat sibuk dengan urusan sendiri, sementara kebutuhan pokok, harga pangan, dan peluang kerja mereka semakin jauh dari jangkauan mereka,” kata Aditya.